Selasa, 14 Juni 2011

Perang Hunain

Setelah pembebasan kota Mekah sebuah berita sampai kepada Nabi saw. bahwa kabilah Hawazin dan Tsaqif telah berkumpul di lembah Hunain untuk memerangi kaum Muslimin. Nabi lalu memerintahkan pasukannya untuk bersiap-siap menghadapi mereka pada bulan Syawal tahun 8 H.

Jumlah pasukan Muslimin sebanyak dua belas ribu orang tentara, setelah mendapat tambahan dari penduduk Mekah yang bergabung. Selanjutnya, pasukan itu bertolak menuju lembah Hunain. Sesampainya di sana mereka dikejutkan oleh pasukan Hawazin dan Tsaqif yang berada di lembah-lembah dan gunung-gunung. Hampir saja mereka dapat mengalahkan pasukan Muslimin. Sebagian pasukan Muslimin lari karena keterkejutan itu. Hanya sedikit, sekitar sepuluh orang saja, yang menetap bersama Nabi. Dengan suara tinggi Nabi berseru kepada kaum Muslimin, “Aku Nabi, bukan kebohongan, aku putra Abdul Muthallib.” Melihat keteguhan dan keberanian Nabi, kaum Muslimin kembali menyatu di belakang Nabi.

Mereka kemudian melancarkan serangan dahsyat dan berakhir dengan kemenangan. Berhasil membunuh tentara musuh dalam jumlah besar, menawan sekitar enam ribu orang, dan mendapatkan banyak harta rampasan.

Perlu kita catat bahwa sebab kekalahan yang hampir menimpa kaum Muslimin adalah kesilauan mereka terhadap jumlah mereka yang banyak. Mereka mengatakan, “Pada hari ini kita tidak mungkin dikalahkan oleh pasukan yang sedikit.” Maka Allah hendak memberikan pelajaran kepada mereka bahwa jumlah yang banyak saja belum cukup, tetapi harus ada pertolongan Allah.

Diriwayatkan oleh Sa'id bin Janadah ra, ia berkata, "Tatkala Rasulullah saw serta para sahabat kembali dari peperangan Hunain, kami singgah di satu padang tandus." Lalu Nabi saw berkata, "Kumpulkanlah oleh kalian apa saja. Barangsiapa di antara kalian mendapatkan sesuatu, bawalah kemari. Barangsiapa menemukan tulang atau gigi, bawalah kemari." Said melanjutkan, "Dalam watu sekejap kami telah berhasil mengumpulkan setumpukan besar benda-benda.

Kemudian Nabi saw bersabda, "Tidaklah kalian lihat benda-benda ini? Begitu juga halnya dosa-dosa yang berkumpul pada salah seorang kalian. Seperti apa yang telah kalian kumpulkan ini. Karena itu, hendaklah orang takut kepada Allah, janganlah ia berbuat dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar, karena semuanya akan dihitung!"

Majalah Islam & EraMuslim
Selengkapnya...

---------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------

Senin, 13 Juni 2011

Perang Tabuk

Sebabnya, seperti diriwayatkan oleh Ibnu Sa‘ad dan lainnya, karena kaum Muslimin mendapat berita dari para pedagang yang kembali dari negeri Syam bahwa orang-orang Romawi telah menghimpun kekuatan besar dengan dukungan orang-orang Arab Nasrani dari suku Lakham, Judzam dan lainnya yang berada di bawah kekuasaan Romawi. Setelah pasukan perintis mereka sampai di Balqa‘, Rasulullah saw memobilisir kaum Muslimin untuk menghadapi mereka. Thabarani meriwayatkan dari hadits Ibnu Hushain bahwa jumlah personil tentara Romawi sebanyak 40.000 orang.

Peperangan ini berlangsung pada bulan Rajab tahun ke-9 Hijriyah, di puncak musim panas dan ketika orang-orang menghadapi kehidupan yang sangat sulit. Pada saat yang sama, musim buah-buahan Madinah mulai dapat dipanen. Oleh sebab itu, Rasulullah saw mengumumkan tempat yang akan mereka tuju, tidak sebagaimana biasanya dalam peperangan-peperangan lainnya.

Ka‘ab bin Malik berkata: Rasulullah saw mengumumkan peperangan ini kepada kaum Muslimin, tidak seperti biasanya jika beliau hendak melakukan peperangan. Beliau melakukan perang Tabuk ini dalam musim yang sangat panas, menempuh jarak yang jauh dan musuh yang berjumlah besar. Beliau mengumumkan perang ini kepada kaum Muslimin supaya mereka bersiap-siap menghadapinya.

Demikian perjalanan dalam peperangan ini sangat berat dirasakan oleh jiwa manusia. Ia merupakan ujian dan cobaan berat yang membedakan siapa yang di dalam hatinya ada nifaq dan siapa yang benar-benar beriman.

Orang-orang munafiq berkata kepada sebagian yang lain: "Janganlah kalian berperang di musim panas". Sementara itu sebagian yang lain datang kepada Rasulullah saw menyatakan: "Berilah ijin kepadaku dan janganlah kamu menjerumuskan aku ke dalam fitnah. Demi Allah, kaumku tidak mengenal orang yang lebih mengagumi wanita selain daripada aku. Aku khawatir tidak dapat bersabar melihat wanita yang berambut pirang.“ Rasulullah saw berpaling darinya dan memberikan ijin kepadanya. Dalam pada itu, Abdullah bin Ubay bin Salul telah berkemah di sebuah tempat di Madinah bersama kelompok pendukung dan sekutunya. Ketika Rasulullah saw bergerak menuju Tabuk, ia (Abdullah bin Ubay) bersama rombongannya tidak bersedia berangkat bersama Nabi saw.

Di antara ayat al-Quran yang diturunkan berkenaan dengan sikap orang-orang munafiq ini adalah:
"Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) itu merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah saw, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah dan mereka berkata: "Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.“ Katakanlah: “Api nereka jahanam itu lebih sangat panasnya, jika mereka mengetahui:“ QA At- Taubah:81

"Diantara mereka ada orang yang berkata: “Berikanlah saya ijin (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus ke dalam fitnah.“ Ketahuilah bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah. Dan sesungguhnya Jahanam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir.“ QS At-Taubah 49

Sedangkan kaum Muslimin datang kepada Rasulullah saw dari setiap pelosok. Dalam menghadapi peperangan ini Rasulullah saw telah menghimbau orang-orang kaya agar menyumbangkan dana dan kendaraan yang mereka miliki sehingga banyak diantara mereka yang menyerahkan harta dan perlengkapan. Ustman ra menyerahkan 300 keping uang sebanyak 1000 dinar yang diletakkan di kamar Rasulullah saw, sehingga Nabi saw bersabda: "Tidak akan membahayakan Ustman apa yang dilakukan sesudahnya.“

Sedangkan Abu Bakar ra menyerahkan semua hartanya dan Umar ra menyerahkan separuh dari hartanya. Turmidzi meriwayatkan dari Zaid bin Aslam dari bapaknya, ia berkata: "Aku pernah mendengar Umar ra berkata: Rasulullah saw memerintahkan kami bersodaqoh dan kebetulan waktu itu saya sedang punya harta, lalu aku berucap: Sekarang aku akan mengalahkan Abu Bakar, jika memang aku dapat mengalahkannya pada suatu hari. Kemudian aku datang kepada Rasulullah saw membawa separuh hartaku. Nabi saw bertanya kepadaku: “Apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu?“ Kujawab: "Sebanyak yang kuserahkan.“ Kemudian Abu Bakar ra datang membawa semua hartanya. Nabi saw bertanya "Wahai Abu Bakar, apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu?“ "Allah dan Rasul-Nya.“ Akhirnya aku berkata: "Aku tidak akan dapat mengalahkannya (dalam perlombaan melaksanakan kebaikan) untuk selama-lamanya".

Jika hadits ini shahih maka pasti himbauan ini berkenaan dengan perang Tabuk, sebagaimana dikatakan oleh para Ulama‘.

Beberapa orang dari kaum Muslimin yang dikenal dengan panggilan al-Buka‘un (orang-orang yang menangis) datang kepada Rasulullah saw meminta kendaraan guna pergi berjihad bersamanya, tetapi Nabi saw menjawab mereka: “Aku tidak punya kendaraan lagi untuk membawa kalian.“ Kemudian mereka kembali dengan meneteskan air mata karena sedih tidak dapat ikut serta berjihad.

Rasulullah saw keluar bersama sekitar 30.000 personil dari kaum Muslimin. Di antara kaum Muslimin ada beberapa orang yang tidak ikut berperang bukan karena ragu dan bimbang, yaitu Ka‘ab bin Malik, Murarah bin Ar Rabi‘, Hilalbin Umaiyah dan Abu Khaitsamah. Mereka ini seperti dikatakan oleh Ibnu Ishaq adalah orang-orang yang jujur dan tidak diragukan lagi keislaman mereka. Hanya Abu Khaitsamah yang kemudian menyusul Rasulullah saw di Tabuk.

Thabarani, Ibnu Ishaq dan Al Wakidi meriwayatkan bahwa setelah Rasulullah saw berjalan beberapa hari, Abu Khaitsamah kembali kepada keluarganya di hari yang sangat panas sekali. Kemudian dia disambut oleh kedua istrinya di dua kemahnya yang terletak di tengah kebunnya. Masing-masing dari keduanya telah menyiapkan kemahnya dengan nyaman lengkap dengan air sejuk dan makanan yang tersediakan. Ketika masuk di pintu kemah dia melihat kedua istrinya dan apa yang telah mereka persiapkan, kemudian dia berkata:

"Rasulullah saw berjemur di terik matahari dan diterpa angin panas, sedangkan Abu Khaitsamah bersantai ria di kemah yang sejuk, menikmati makanan yang tersedia dan bersenang ria dengan wanita-wanita cantik? Demi Allah, ini tidak adil!“

Selanjutnya dia berkata: “Demi Allah, aku tidak akan masuk kemah salah seorang di antara kalian sehingga aku menyusul Rasulullah saw.“

Kemudian istrinya pun menyiapkan perbekalan. Ia berangkat mencari Rasulullah saw dan berhasil menyusulnya ketika Nabi saw turun di Tabuk. Ketika Abu Khaitsamah semakin mendekati kaum Muslimin, mereka berkata: "Ada seorang pengendara yang datang.“ Kemudian Rasulullah saw bersabda: "Ia adalah Abu Khaitsamah!“.

Mereka berkata: "Wahai Rasulullah saw, ia memang Abu Khaitsamah.“ Setelah turun dari kendaraannya. Abu Khaitsamah menghadap kepada Rasulullah sa. Sabda Nabi saw kepadanya: “Engkau mendapatkan keutamaan wahai Abu Khaitsamah.“ Setelah Abu Khaitsamah menceritakan masalahnya, Rasulullah saw berdo‘a untuk kebaikannya.

Dalam perjalanan ini kaum Muslimin mengalami kesulitan yang sangat besar.
Imam Ahmad dan lainnya meriwayatkan bahwa dua dari tiga orang bergantian menaiki satu ekor onta. Mereka juga kehabisan perbekalan air minum sehingga terpaksa memotong onta mereka untuk diambil perbekalan airnya.

Imam Ahmad meriwayatkan di dalam Musnadnya dari Abu Hurairah ra ia berkata: "Pada waktu perang Tabuk kaum Muslimin mengalami kelaparan sehingga mereka berkata: “Wahai Rasulullah saw, ijinkanlah kami menyembelih onta-onta kami untuk dimakan.“ Nabi saw menjawab: “Lakukanlah!“ Tetapi Umar ra datang seraya berkata: "Wahai Rasulullah saw, kalau mereka menyembelih onta-onta itu niscaya kendaraan kita berkurang. Tetapi perintahkanlah saja agar mereka mengumpulkan sisa perbekalan mereka kemudian do‘akanlah semoga Allah memberkatinya.“ Lalu Nabi saw memerintahkan agar sisa-sisa perbekalan mereka kumpulkan di atas tikar yang telah digelar. Maka orang-orang pun berdatangan. Ada yang membawa segenggam gandum dan ada pula yang membawa segenggam kurma, sehingga terkumpullah perbekalan makanan yang tidak terlalu banyak, kemudian Nabi saw memohonkan keberkahannya. Setelah itu Nabi saw berkata kepada mereka: “Ambillah dan penuhilah kantong-kantong makanan kalian!“ Kemudian mereka pun memenuhi kantong-kantong makanan mereka sampai tidak ada tempat makanan yang kosong di perkemahan kecuali mereka telah memenuhinya. Mereka juga telah makan hingga kenyang. Bahkan makanan itu masih tersisa. Kemudian Nabi saw bersabda: "Aku bersaksi tidak ada Ilah selian Allah dan sesungguhnya aku adalah Rasul Allah. Seorang hamba yang menghadap Allah dengan dua kalimat tersebut, tanpa ragu, pasti tidak akan dihalangi masuk surga.“

Sesampainya di Tabuk, mereka tidak menemukan pasukan Romawi dan tidak ada perlawanan. Kemudian Yohanna, gurbernur Ailah, datang kepada Nabi saw meminta diadakan perjanjian damai dengan kesiapan dari pihaknya untuk membayar jizyah. Demikian pula para penduduk Jarba‘ dan Adzrah. Permintaan damai ini disetujui oleh Nabi saw yang kemudian dituangkan dalam surat perjanjian.

Ketika pasukan Muslimin melewati Hijr (perkampungan kaum Tsamud), Nabi saw bersabda kepada para sahabatnya: “Janganlah kalian masuk ke tempat-tempat orang-orang yang menzhalimin dirinya, sebab dikhawatirkan kalian akan tertimpa musibah yang pernah menimpa mereka, kecuali jika kalian dalam keadaan menangis.“ Kemdian Nabi saw menundukkan kepalanya dan mempercepat langkahnya sehingga melewati lembah tersebut.

Akhirnya Nabi saw kembali ke Madinah. Setibanya di dekat Madinah, Nabi saw bersabda kepada para sahabatnya: “Itulah Thalhah! Dan itulah Uhud, gunung yang mecintai kita dan kita cintai!“ Sabdanya pula: “Di Madinah ada orang-orang yang berangkat bersama kalian, mereka turut menjelajah lembah bersama kalian!“ Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, bukankah mereka itu tetap tinggal di Madinah?“ Nabi saw menjawab: "Ya, mereka tetapi di Madinah karena berhalangan.“

Nabi saw tidak di Madinah pada bulan Ramadhan tahun itu juga, sehingga dengan demikian berarti Nabi saw meninggalkan Madinah sekitar dua bulan.

PERKARA ORANG YANG TIDAK IKUT BERPERANG

Setibanya di Madinah, Nabi saw masuk ke dalam masjid kemudian melaksanakan shalat dua raka‘at. Seusai shalat beliau duduk bersama para sahabat. Orang-orang yang tidak ikut berperang datang kepada Nabi saw menyampaikan alasan masing-masing disertai sumpah. Jumlah mereka 80 orang lebih sedikit. Pernyataan dan alasan mereka itu diterima oleh Nabi saw dan beliau memohonkan ampunan kepada Allah bagi mereka. Sedangkan urusan Ka‘ab dan kedua temannya di biarkan hingga turun ayat-ayat yang menerangkan diterimanya taubat mereka.

Ka‘ab ra dalam sebuah hadits panjang yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim mengungkapkan kisahnya sendiri sebagai berikut :
Diantara kisahku bahwa aku tidak ikut dalam berperang itu. Aku segera memulai persiapan untuk maju ke medan perang bersama kaum Muslimin, tetapi aku kembali lagi dan belum mempersiapkan sesuatu, kemudian aku berkata dalam hati: Aku sebenarnya mampu (ikut ke medan perang). Aku terus berusaha mempersiapkan untuk berangkat, tetapi ternyata aku belum mendapatkan apa-apa untuk berangkat. Ketika kaum Muslimin sudah berangkat dan berjalan jauh menuju medan perang akupun masih belum mempersiapkan apa-apa, lalu aku berkeinginan untuk menyusul mereka andai aku telah melakukannya tetapi aku pun tidak ditakdirkan untuk itu.

Setelah Rasulullah saw berangkat, aku keluar menemui orang-orang. Aku sangat sedih karena aku tidak melihat kecuali orang yang kental sekali kemunafiqannya atau orang lemah yang diberi dispensasi oleh Allah.

Ketika kudengar Nabi saw telah bergerak pulang, aku merasa gelisah. Terlintas pula keinginan untuk berbohong demi menyelamatkan diri dari kemarahan beliau nanti! … Kemudian aku meminta pandangan setiap orang yang pantas memberikan pandangan dari keluargaku. Ketika diberitahukan bahwa Rasulullah saw telah datang, hilangkah segala kebathilan dari pikiranku dan aku putuskan untuk berkata jujur kepada beliau. Aku datang menemui Rasulullah saw seraya mengucapkan salam kepadanya, tetapi beliau tersenyum sinis kemudian berkata: “Kemarilah!“ Setelah aku dihadapannya, beliau bertanya: “Kenapa kamu tidak berangkat? Bukankah kamu telah membeli kendaraan?“ Aku jawab: “Ya, benar! Demi Allah seumpamanya aku sekarang ini berhadapan dengan orang lain dari penduduk dunia, tentu mudah bagiku mencari alasan untuk menghindari kemarahannya, apalagi aku adalah orang ynag pandai berdebat. Demi Allah aku tahu jika aku hari ini berbicara bohong kepada engkau sehingga engkau tidak memarahiku, sungguh pasti Allah yang mengetahui kebohongan itu akan memarahi engkau karena aku. Jika aku berkata jujur kepada engkau niscaya engkau memarahiku. Namun aku akan tetap berkata jujur demi mengharap ampunan Allah. Demi Allah, sungguh aku tidak punya halangan (udzur) apa-apa. Demi Allah, sebenarnya aku saat itu dalam keadaan kuat dan sanggup berangkat ke medan perang!“.

Rasulullah saw menyahut: “Ya, itu memang tidak bohong. Pergilah sampai Allah menentukan sendiri persoalanmu!“ Aku lalu pergi.

Ketika aku pergi, beberapa orang dari Banu Salmah menyusul dan menyalahkan tindakanku (karena tidak mengemukakan alasan sebagaimana orang lain). Kutanyakan kepada mereka: "Apakah ada orang lain yang berbuat sama seperti yang kulakukan?“ Mereka menjawab: “Ya, ada dua orang, dua-duanya mengatakan kepada Rasulullah saw seperti yang telah engkau katakan, dan beliau juga mengatakan kepada mereka, seperti yang beliau katakan kepadamu!“ Aku bertanya lagi: “Siapakah kedua orang itu?“ Mereka menjawab: “Murarah bin Ar-Rabi‘ dan Hilal bin Umaiyah.“ Mereka lalu menerangkan bahwa dua-duanya itu orang shaleh dan pernah ikut perang Badr. Dua-duanya dapat dijadikan contoh.

Kemudian Rasulullah saw mencegah kaum Muslimin bercakap-cakap dengan kami bertiga, sebagai orang yang tidak turut serta berangkat ke medan perang Tabuk.

Semua orang menjauhkan diri dari kami dan berubah sikap terhadap kami, hingga aku sendiri merasa seolah-olah bumi yang kuinjak bukan bumi yang kukenal.

Keadaan seperti ini kualami selama lima puluh hari. Dua orang temanku tetap tinggal di rumah masing-masing dan selalu menangis sedang aku sendiri sebagai orang muda dan berwatak keras tetap keluar seperti biasa, shalat jama‘ah bersama kaum Muslimin dan mondar-mandir ke pasar. Selama itu tak seorangpun ynag mengajakku bercakap-cakap. Akhirnya aku datang menghadap Rasulullah saw, kuucapkan salam kepadanya saat sedang duduk sehabis shalat. Dalam hati aku bertanya: Apakah beliau menggerakkan bibir membalas ucapan salamku atau tidak. Kemudian aku shalat dekat beliau sambil melirik ke arah beliau. Ternyata di saat aku masih shalat beliau memandangku, tetapi setelah selesai shalat dan aku menoleh kepadanya, beliau memalingkan muka.

Pada suatu hari di saat aku sedang berjalan di pasar Madinah, tiba-tiba seorang asing penjaja dagangan yang datang dari Syam bertanya-tanya: "Siapakah yang dapat membantu saya menunjukkan orang yang bernama Ka‘ab bin Malik?“ Banyak orang menunjukkannya. Ia kemudian menghampiriku lalu menyerahkan sepucuk surat kepadaku dari Raja Ghassan. Setelah kubuka ternyata berisi sebagai berikut: “Amma ba‘du, kudengar bahwa sahabatmu (yakni Rasulullah saw) telah mengucilkan dirimu. Tuhan tidak akan membuat dirimu hina dan nista. Datanglah kepadaku, engkau pasti kuterima dengan baik….“

Setelah kubaca aku berkata: “Ini juga termasuk cobaan!“ Kunyalakan api kemudian surat itu kubakar.

Setelah lewat empat puluh hari, datanglah utusan Rasulullah saw kepadaku. Ia berkata: “Rasulullah saw memerintahkan supaya engkau menjauhkan diri dari istrimu!“ Aku bertanya: "Apakah ia harus kucerai ataukah bagaimana?“ Ia menjawab: “Tidak! Engkau harus menjauhinya, tidak boleh mendekatinya!“

Kepada dua orang temanku (yang senasib) Rasulullah saw juga menyampaikan perintah yang sama. Kemudian kukatakan kepada istriku: "Pulanglah engkau kepada keluargamu, dan tetap tinggal di tengah-tengah mereka hingga Allah menetapkan keputusann-Nya mengenai persoalanku!“

Tinggal sepuluh hari lagi lengkaplah masa waktu lima puluh hari sejak Rasulullah saw melarang kaum Muslimin bercakap-cakap dengan kami ….

Tepat pada hari kelima puluh aku shalat subuh memikirkan keputusan apa yang akan ditetapkan Allah dan Rasul-Nya atas diriku yang tengah mengalami penderitaan berat ini, hingga bumi yang luas ini kurasa amat sempit. Tiba-tiba kudengar suara orang berteriak dari bukit: “Hai Ka‘ab bin Malik, bergembiralah…!“

Seketika itu juga aku sujud (syukur) karena aku sadar bahwa ampunan Allah telah datang …

Setelah mengimami shalat subuh berjama‘ah Rasulullah saw mengumumkan kepada kaum Muslimin bahwa Allah berfirman berkenan menerima taubat kami. Banyak orang berdatangan memberitahukan kabar gembira itu kepada kami bertiga.

Setelah orang yang kudengar suaranya dari atas bukit itu datang untuk menyampaikan kabar gembira kepadaku, kulepas dua baju yang sedang kupakai, kemudian dua-duanya kuberikan kepadanya dengan senang hati. Demi Allah, aku tidak mempunyai baju selain yang dua itu. Aku berusaha mencari pinjaman baju kepada orang lain, dan setelah kupakai aku segera pergi menemui Rasulullah saw. Banyak orang yang menyambut kedatanganku mengucap selamat atas ampunan Allah yang telah kuterima.

Aku kemudian masuk ke dalam masjid. Kulihat Rasulullah saw sedang duduk dikelilingi para sahabatnya. Thalhah bin Ubaidillah berdiri kemudian berjalan tergopoh-gopoh kepadaku. Selain Thalhah tidak ada orang lain dari kaum Muhajirin yang berdiri menyambut kedatanganku. Kebaikan Thalhah itu tidak dapat kulupakan.

Setelah aku mengucapkan salam kepada Rasulullah saw , beliau dengan wajah berseri-seri kegirangan berkata: “Gembiralah menyambut hari baik yang belum pernah engkau alami sejak lahir dari kandungan ibumu!“ Aku bertanya: “Apakah itu dari anda sendiri, wahai Rasulullah? Ataukah dari Allah?“ Beliau menjawab: “Bukan dari aku, melainkan dari Allah.“

Kemudian aku berkata: “Wahai Rasulullah saw, sebagai tanda taubatku, aku hendak menyerahkan seluruh harta bendaku kepada Allah dan Rasul-Nya.“ Tetapi beliau menjawab: “Lebih baik engkau ambil sebagian dari hartamu itu!“.

Selanjutnya kukatakan kepada beliau: “Wahai Rasulullah, Allah telah menyelamatkan diriku karena aku berkata benar. Setelah aku bertaubat, selama sisa umurku aku tidak akan berkata selain yang benar!“.

Kemudian turunlah firman Allah kepada Rasul-Nya :
"Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan Anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka nyaris berpaling (tergelincir), namun kemudian Allah menerima taubat mereka. Sesunguhnya Allah Mahaya Penyayang terhadap mereka. Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubatnya) sehingga bumi yang luas ini mereka rasakan amat sempit, dan jiwa mereka pun dirasa sempit oleh mereka, kemudian mereka menyadari bahwa tidak ada temapt lari dari (siksaan) Allah selain kepada-Nya, kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap bertaubat. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hari orang-orang yang beriman, tetapi bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang selalu benar.“ QS At-Taubah 117-119

[Disalin dari buku Sirah Nabawiyah karangan Dr. Muhammad Sa`id Ramadhan Al Buthy, alih bahasa (penerjemah): Aunur Rafiq Shaleh, terbitan Robbani Press] 

daffodilmuslimah.multiply.com Selengkapnya...

---------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------

Minggu, 12 Juni 2011

Bai'at Aqobah

Beberapa orang suku Khazraj dari Madinah ketika melakukan ibadah haji akhirnya bersedia menerima dakwah Rasulullah n. Sebelumnya, mereka telah mendengar dari orang-orang Yahudi bahwa akan datang seorang nabi. Ketika nabi itu benar-benar datang, mereka pun beriman kepadanya, sementara orang-orang Yahudi malah mengkufurinya.

Siang dan malam, Rasulullah n tidak pernah berhenti berdakwah. Setiap musim haji, beliau selalu mendatangi kabilah-kabilah dari luar Kota Makkah untuk mendakwahkan Islam. Namun tak satu pun yang menyambut seruan beliau.
Namun Allah l memang ingin menampakkan dan memenangkan al-haq ini. Suatu ketika, di musim haji, datanglah beberapa orang dari suku Khazraj Madinah, yaitu Abu Umamah As’ad bin Zurarah, ‘Auf bin al-Harits, Rafi’ bin Malik, Quthbah bin ‘Amir, ‘Uqbah bin ‘Amir, dan Jabir bin Abdullah bin Ri’ab.
Rasulullah n pun menemui mereka, menerangkan ajaran Islam dan membacakan beberapa ayat Al-Qur’an. Sebelum ini, para pemuka suku tersebut sebenarnya telah sering mendengar berita dari orang-orang Yahudi, sekutu mereka, bahwa akan datang seorang nabi yang dengannya mereka memerangi orang-orang kafir seperti memerangi ‘Aad dan Iram.
Pada tahun berikutnya, datanglah 12 orang, termasuk enam orang pertama selain Jabir. Bersama rombongan ini, ikut serta Mu’adz bin al-Harits bin Rifa’ah saudara ‘Auf, juga ‘Ubadah bin ash-Shamit, Yazid bin Tsa’labah, Abul Haitsam bin at-Taihan, ‘Uwaimir bin Malik, dan Dzakwan bin ‘Abdul Qais.
Tentang peristiwa ini Jabir zmenceritakan, “Ketika Rasulullah n masih di Makkah dan mengajak manusia kepada Islam, beliau mendatangi mereka di setiap musim haji, di pasar ‘Ukkaz, Majannah, sambil berkata, ‘Siapakah yang akan membantuku menyebarkan risalah Rabbku ini? Bagiannya adalah jannah (surga).’ Namun, tidak ada yang mau menyambut seruan itu. Sampai akhirnya Allah l mengirim kami kepada beliau, dan bertemu di ‘Aqabah. Ketika itu beliau bersama ‘Abbas pamannya.
Kami berkata kepada beliau, ‘Ya Rasulullah, atas dasar apa kami bersumpah setia (bai’at) kepadamu?’ Kata beliau, ‘Kalian berbai’at untuk tetap mendengar dan taat, baik di waktu semangat maupun berat, dalam keadaan lapang maupun sempit (susah), menolongku kalau aku datang kepada kalian dan membelaku seperti kalian membela anak, istri, dan diri kalian sendiri, serta kalian akan mendapat balasan surga.’
Kami pun segera membai’atnya. Yang pertama menggenggam tangan beliau adalah As’ad bin Zurarah padahal dia adalah yang paling muda di antara kami, dan dia berkata, ‘Tunggu dulu, wahai orang-orang Yatsrib (Madinah). Kita tidak melakukan perjalanan ini melainkan kita tahu betul bahwa dia adalah Rasulullah. Membawanya keluar (dari Makkah, red.) pada hari ini berarti menghadapi bangsa Arab seluruhnya dan sebab terbunuhnya orang-orang terbaik dari kalian, serta siap menghadapi peperangan. Kalau kalian sabar terhadap hal ini, ambil sumpah setia ini, dan balasan bagi kalian di sisi Allah l. Kalau kalian takut dan mengkhawatirkan diri kalian, maka tinggalkan dia. Ini adalah udzur bagi kalian di sisi Allah l.’ Serempak yang lain berkata, ‘Wahai As’ad, lepaskan tanganmu. Demi Allah, kami tidak akan biarkan bai’at ini berlalu begitu saja dan kami tidak membencinya.’
Kemudian satu per satu dari kami berdiri menggenggam tangan beliau mengucapkan bai’at, lantas beliau memberi syarat, dan menjanjikan surga bagi kami.”
Setelah itu mereka kembali ke Madinah. Rasulullah n mengutus Ibnu Ummi Maktum dan Mush’ab bin ‘Umair c untuk berdakwah di Madinah. Akhirnya, Islam tersebar menembus pintu-pintu setiap rumah di Madinah. Melalui dakwahnya, berimanlah beberapa tokoh seperti Usaid bin Hudhair, Sa’d bin Mu’adz, yang kemudian diikuti seluruh suku Bani Abdil Asyhal, laki-laki dan perempuan, kecuali ‘Amru bin Tsabit bin Qais yang baru masuk Islam ketika terjadi perang Uhud dan dia gugur sebagai syuhada sebelum sempat sujud satu kali pun. Tentang dia, Rasulullah n bersabda:
عَمِلَ قَلِيْلاً، وَأُجِرَ كَثِيْرًا
“Dia beramal sedikit, tapi diberi pahala berlimpah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim, dari al-Bara’ z)
Kemudian Mush’ab z kembali ke Makkah. Pada musim haji berikutnya, datanglah menemui Rasulullah n sekitar 73 orang laki-laki dan dua orang perempuan dari Madinah di bawah pimpinan al-Bara’ bin Ma’rur. Mereka berbai’at kepada Rasulullah n sebagaimana halnya yang dikisahkan Jabir z. Setelah itu, Rasulullah n memerintahkan agar mereka segera kembali ke kemah-kemah mereka.
Keesokan harinya, orang-orang kafir Quraisy mendatangi mereka dan menanyakan apa yang telah dilakukan mereka semalam. Termasuk mencari kebenaran berita bahwa orang-orang Madinah itu akan memerangi mereka. Abdullah bin Ubai bin Salul yang ketika itu ikut bersama rombongan dari Madinah menampik dan menegaskan ketidakbenaran berita tersebut.

Sekilas tentang Aus dan Khazraj
Ibnu Hisyam menukilkan dari keterangan Hassan bin Tsabit z bahwa orang-orang Anshar (penduduk Madinah) adalah keturunan Aus dan Khazraj, yang keduanya adalah anak dari Haritsah bin Tsa’labah bin ‘Amru.
Kedua kabilah ini sesungguhnya pada masa jahiliah selalu bermusuhan dan saling memerangi. Masing-masing dibantu oleh sekutu-sekutu mereka dari golongan Yahudi. Setiap kali mereka berperang, masing-masing dari Yahudi tersebut mengancam, bahwa telah tiba masanya akan datang seorang nabi, dan mengatakan, “Kami akan memerangi kalian bersamanya seperti memerangi ‘Ad dan Iram.”
Setelah Allah l mengutus Nabi Muhammad n, orang-orang Anshar segera menyambut seruan tersebut, sementara Yahudi justru mengingkarinya. Tentang hal ini Allah l menyebutkan:
“Dan tatkala telah datang kepada mereka sebuah kitab dari sisi Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Padahal mereka sebelumnya senantiasa mengharap-harap kemenangan atas orang-orang kafir. Tapi setelah datang kepada mereka sesuatu yang telah mereka ketahui, mereka mengingkarinya, maka laknat Allah terhadap orang-orang yang kafir.” (al-Baqarah: 89)
Ibnu Ishaq mengatakan, “Telah bercerita kepada kami ‘Ashim bin ‘Amr bin Qatadah dari beberapa orang tokoh dari kaumnya. Mereka berkata, ‘Sesungguhnya beberapa faktor yang mendorong kami masuk Islam—dengan rahmat dan hidayah Allah l—tatkala kami mendengar dari beberapa orang Yahudi—sedangkan kami waktu itu masih musyrik penyembah berhala—mereka mempunyai ilmu yang tidak ada pada kami. Antara kami dengan mereka sering terjadi permusuhan. Apabila kami mencaci-maki mereka dengan sesuatu yang tidak disukai mereka, mereka berkata, ‘Sungguh hampir tiba masanya sekarang ini, akan diutusnya seorang nabi. Kami akan memerangi kalian bersamanya seperti memerangi bangsa ‘Aad dan Iram.’
Inilah yang selalu kami dengar dari mulut mereka. Namun tatkala Allah l telah mengutus Rasulullah n, kami segera menyambut seruan beliau ketika mengajak kami untuk beriman kepada Allah l, apalagi setelah kami tahu ancaman mereka itu. Maka kami mendahului mereka beriman kepada beliau, sedangkan mereka justru mengingkarinya. Dan ayat ini turun berkaitan dengan keadaan kami dan mereka.”(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib)

Sumber Bacaan:
1. Tafsir Ibnu Katsir
2. Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim
3. Sirah Ibnu Hisyam
4. Shahih as-Sirah an-Nabawiyyah, asy-Syaikh al-Albani
www.asysyariah.com
Selengkapnya...

---------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...